TUGAS : MATA KULIAH
PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK INDONESIA
OLEH : ABDUL
RONI, S.Pd
NIM : 06022681519002
Abstrak
Matematika
selama ini dianggap sebagai tool, padahal sebenarnya matematika itu merupakan
aktivitas manusia (Human activity), sehingga matematika harus membekas dalam
pengalaman kehidupan nyata manusia ataupun peserta didik. Dasar pemahaman PMRI
ini berlandaskan pada Filosofi PMRI, prinsip dan Karakter PMRI Itu sendiri
PENDAHULUAN
Upaya pembaharuan dengan maksud
memperbaiki pendidikan matematika sudah sejak lama
dilakukan dengan berbagai cara dan tujuan. Ada upaya pembaharuan melalui
perubahan kurikulum beserta tujuan yang diperjelas, ada pembaharuan melalui proses
pembelajarannya di dalam kelas, meski sifatnya mungkin sporadis. Hal tersebut
wajar dilakukan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara.
Indonesia pernah mengalami pembaharuan pendidikan matematika yang agak
menyeluruh ketika sekolah-sekolah diarahkan untuk menggunakan “Matematika
modern” meski tidak disebut secara eksplisit demikian. Demikian juga negara
tetangga kita Malaysia dengan “Matematika Moden”-nya. Pada saat gencargencarnya
matematika modern itu, Belanda tidak mengikutinya. Dalam kurun waktu tahun
1970-an, Universitas UTRECHT yang memiliki lembaga penelitian, melakukan upaya
pembaharuan pendidikan matematika yang dipelopori oleh Hans Freudenthal.
Lembaga itu bernama Freudenthal Institute. Sedangkan karya pembaharuannya
diberi nama “Realistic Mathematics Education” (RME), yang bertumpu pada realita
dalam kehidupan keseharian. Pemikiran dasar RME kemudian menyebar ke berbagai
negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara di benua Afrika. Di Indonesia
digunakan nama selengkapnya “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia” (PMRI)
dalam bentuk pendek adalah “Pendidikan Matematika Realistik”, sedangkan secara
operasional juga sering disebut “Pembelajaran Matematika Realistik” (PMR).
Dengan demikian dapat kiranya didefinisikan bahwa “ PMRI adalah Pendidikan
Matematika sebagai hasil adaptasi dari Realistic Mathematics Education yang
TELAH DISELARASKAN dengan kondisi budaya, geografi dan kehidupan masyarakat
Indonesia umumnya.
Pendidikan
Matematika Realistik (PMR) merupakan inovasi pendidikan matematika disebut juga
inovasi pendekatan pembelajaran matematika yang sejalan dengan teori
kunstruktivis. Dalam PMR lebih diperhatikan adanya potensi pada diri anak atau
siswa yang justru harus dikembangkan. Keyakinan guru akan adanya potensi itu akan
mempunyai dampak kepada bagaimana guru harus mengelola pembelajaran matematika.
Itupun juga akan berdampak kepada bagaimana siswa membiasakan melakukan
kegiatan yang diharapkan muncul sesuai kemampuan diri yang dimilikinya.
Keduanya akan berpengaruh kepada budaya guru dalam “mengajar” dan bagaimana
budaya anak atau siswa harus “belajar”. Dengan demikian maka inovasi
pembelajaran matematika ini tidak sekedar akan memungkinkan pengubahan peta
konsep materi matematika dan hubungannya, namun yang tidak kalah pentingnya
adalah akan mengubah budaya kearah yang lebih dinamis namun tetap dalam koridor
etika pergaulan. Dalam inovasi ini anak atau siswa diharapkan akan berani
mengemukakan pendapatnya serta mampu menerima pendapat orang lain dan juga
mengetahui perlunya negosiasi dalam kehidupan. Sedangkan guru akan perlu
mengurangi kebiasaannya “menggurui” beralih fungsi menjadi fasilitator. Untuk
lebih memahaminya berikut akan disajikan serba singkat dasar-filosofis, dasar
teoretik serta dasar aplikatif pembelajaran matematika realistik itu.
A.
FILOSOFI
PMRI
Menurut Sembiring,
matematika adalah konstruksi budaya manusia (Prabowo dan Sidi, 2010:172).
Budaya merupakan sesuatu yang dekat dengan manusia, sehingga matematika
merupakan hasil konstruksi dari berbagai hal yang ada di sekitar manusia.
Hakekat ini yang mendasari munculnya Realistic Mathematics Education (RME) di
mana landasan filosofisnya, menurut Freudenthal, adalah matematika harus
dihubungkan dengan sesuatu yang nyata dan matematika seharusnya tampak sebagai
aktivitas manusia (Aula Aulia Mustika, 2012:3)
Dalam filsafat
pendidikan matematika, yaitu pemikiran reflektif tentang pendidikan matematika,
perlu menyadari komponen-komponen yang ada dalam pendidikan matematika.
Komponen-komponen itu adalah (1) materi matematika, (2) anak yang belajar, (3)
sekolah & guru yang “mengajar” dan (4) realitas lingkungan yang ada
(Soejadi, 2007:2). Komponen-komponen itu perlu saling terkait atau dikaitkan
secara bermanfaat. Khusus tentang materi matematika, orang selama ini, sadar
atau tidak memandangnya sebagai “alat”, jadi dikatakan “mathematics as a tool”.
Pandangan atau anggapan semacam itu sama sekali tidaklah salah dan sama sekali
juga tidak harus dibuang. Hal yang perlu disadari adalah penempatannya. Kalau
dalam pembelajaran seorang guru cenderung menganggap matematika sebagai alat,
tidaklah mustahil anak akan lebih mengutamakan “pokok bisa pakai” atau “pokok
bisa selesaikan soal” cukup menghafal. PMR tidak memandang matematika
sedemikian itu, tetapi memandang matematika sebagai kegiatan manusia atau
“mathematics as human activity”. Ini lebih sesuai dengan tumbuhnya atau
munculnya matematika di berbagai bagian dunia. Sejarah matematika akan
memperjelas hal itu. Karena adanya tantangan hiduplah manusia berupaya untuk
mengatasinya. Pandangan itulah yang kemudian dinilai lebih tepat untuk
melaksanakan pendidikan matematika, lebih-lebih diawal pendidikan matematika,
yang objeknya abstrak itu. Sesuai dengan pandangan itu atau filsafat itu, maka
dalam PMR diupayakan semaksimal mungkin anak aktif dan membangun sendiri
pengetahuannya. Dengan demikian dasar filosofis PMRI adalah bahwa Matematika
adalah kegiatan manusia dan sekaligus sebagai alat. Ini berarti bahwa perlu
menempatkan kedua pandangan itu pada tempat yang cocok/sesuai dengan
perkembangan jiwa peserta didik.. Skema di bawah ini kiranya akan memperjelas
inti uraian di atas.
Skema tersebut
menunjukkan kedua filsafat, yaitu matematika sebagai kegiatan manusia di bagian
bawah sedangkan matematika sebagai alat di bagian atas, setelah tercapai
matematika formal. Dalam skema itu tertera ANEKA MASALAH, ini menunjukkan bahwa
dalam kehidupan memang dihadapi macam-macam masalah. Aneka masalah yang tertera
di bagian bawah skema itu dimaksud untuk menunjukkan masalah yang ada di sekitar
anak atau masalah keseharian yang dapat digunakan untuk mengungkap masalah
kontekstual, khususnya untuk masalah kontekstual yang akan diberikan kepada
siswa di awal pembelajaran sesuatu topik atau sub topik. Jadi anak diharapkan
akan dapat menemukan atau membangun suatu ide ataupun konsep matematika
tertentu. Di bagian itu tertulis nyata – semi – abstrak. Ini menunjukkan
kemungkinan langkah matematisasi horisontal. Mungkin sekali melalui lebih dari
satu kali langkah informal, mungkin berupa model of, mungkin juga berupa
kata-kata keseharian yang akan membantu kearah istilah-istilah formal
matematika. Di bagian kanan terdapat garis vertikal yang menunjukkan
matematisasi vertikal atau arah pencapaian matematika formal setelah melalui
matematisasi horisontal. ANEKA MASALAH di bagian kiri menunjukkan macam-macam
masalah yang mungkin sekali memerlukan pemecahan dengan bantuan matematika
formal melalui kemungkinan generalisasi ataupun idealisasi sehingga dapat
dibuat model matematikanya secara formal. Selanjutnya digunakanlah matematika
sebagai alat, dengan memcahkan model matematika dengan berbagai aturan yang ada
dalam matematika formal, sehingga tercapai jawab atau selesaian dari model
matematika itu. Tentu saja selanjutnya harus diakhiri dengan penafsiran selesaian
model itu menjadi jawab atau selesaian dari masalah yang harus diselesaikan
dengan bantuan matematika tersebut. Skema menyeluruh ini di sini disebut Skema
kerangka dedaktik dalam rangka inovasi dengan PMR tersebut. Sudah barang tentu
untuk setiap anak, mungkin saja dapat terjadi perbedaanperbedaan tertentu dalam
rangka menuju tujuan tertentu yang diharapkan Itulah nanti yang akan disebut
sebagai “learning trajectory”.
B.
PRINSIP
PMRI
1)
a) Guided Re-invention atau “menemukan kembali secara
terbimbing” Prinsip ini menekankan “penemuan kembali” secara terbimbing..
Melalui topik-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan sama untuk
membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika. Setiap
siswa diberi kesempatan sama untuk merasakan situasi danmengalami masalah
kontekstual yang mmiliki berbagai kemungkinan solusi. Bila diperlukan dapat
diberikan bimbingan yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak diawali dari
“sifat” atau “definisi” atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan
“contoh=contoh” serta “penerapannya”, tetapi justru dimulai dengan masalah
kontekstual atau real/nyata meski hanya dengan memba yangkannya, dan
selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat menemukan kembali
sifat,definisi dan lainnya itu. Hal terakhir menunjukkan kesesuiannya dengan
paham konstruktivisme yang meyakini bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer
dari seseorang kepada orang lain tanpa aktivitas yang dilakukan sendiri oleh
orang yang akan mengetahui pengetahuan tersebut.
b)
Progressive mathematization atau matematisasi progresif.
Bagian -2 dari prinsip pertama ini menekankan “matematisasi” atau
“pematematikaan” yang dapat diartikan sebagai “upaya untuk mengarahkan kepada
pemikiran matematika”. Dikatakan prograsif karena terdapat dua langkah
matematisasi itu, yaitu matematisasi (1) horisontal dan (2) vertikal.yang
berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan akan berakhir pada
matematika yang formal.
2)
Didactical Phenomenology atau fenomenologi didaktik.
Prinsip ini
menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan
pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika
kepada siswa. Masalah kon tektual dipilih dengan mempertimbangkan (1) aspek
kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) kecocokan
dengan proses re-invention yang berarti bahwa aturan/cara,atau konsep atau
sifat termasuk model matematika tidak disediakan atau diajarkan oleh guru
tetapisiswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau membangun sendiri
dengan berpangkal dari masalah kontektual yang diberikan. Ini akan menimbulkan
“learning trajectory” / lintasan belajar yang akan menuju tujuan yang
ditetapkan.Tidak mustahil lintasan belajar itu untuk setiap siswa bisa berbeda
meskipun akan mencapai tujuan yang sama. Ini berarti bahwa pembelajaran tidak
lagi terpusat pada guru tetapi akan berpusat pada siswa bahkan dapat juga
disebut berpusat pada masalah kontekstual yang dihadapi. Masalah kontekstual
dapat juga untuk memantapkan pemahaman sesuatu yang telah didapatnya..
3) Self
developed model atau membangun sendiri model.
Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi
“jembatan” yang berupa model. Karena berpangkal dari masalah kontekstual dan
akan menuju ke matematika formal serta adanya kebebasan pada anakmaka tidaklah
mustahil siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih
seder-hana dan masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Model ini disebut
“model of” dan sifatnya masih dapat disebut “matematika informal”. Selanjutnya
mungkin melalui generalisasi ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang
mengarahkan ke matematika formal, model ini dapat disebut “model for”. Hal
tersebut sesuai dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, yang
memungkinkan siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri.
(Soejadi, 2007)
C.
CIRI
ATAU KARAKTERISTIK PMRI
1) Menggunakan konteks. Pembelajaran menggunakan
masalah kontekstual. Kontekstual yang dimaksud adalah lingkungan siswa yang
nyata baik aspek budaya maupun aspek geografis.. Didalam matematika hal itu
tidak selalu diartikan “konkret” tetapi dapat juga yang telah dipahami siswa
atau dapat dibayangkan. Masalah kontekstual biasanya dikemukakan di awal
pembelajaran. Namun demikian masalah dapat saja disajikan di tengah atau di
akhir pembelajaran suatu topik atau sub topik. Masalah kontekstual disajikan di
awal pembelajaran, bila dimaksudkan untuk memungkinkan siswa
membangun/menemukan sesuatu konsep, definisi, operasi ataupun sufat matematika
serta cara pemecahan masalah itu. Masalah kontektual di sajikan di tengah
pembelajaran bila dimaksudkan untuk “memantapkan” apa yang telah
dibangun/ditemukan. Masalah kontekstual disajikan di akhir pembelajaran bila
dimaksudkan untuk mampu “mengaplikasikan” apa yang telah dibangun/ditemukan.
2)
Menggunakan model Dalam pembelajaran matematika sering perlu melalui waktu yang
panjang serta bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam abstraksi itu
perlu menggunakan model. Model itu dapat bermacam-macam, dapat konkret berupa
benda, gambar, skema, yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai jembatan dari
konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Dikenal model yang
serupa atau mirip dengan masalah nyatanya, yang disebut “model of” dan dikenal
juga model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak atau formal, yang disebut
“model for”.
3) Menggunakan kontribusi siswa. Dalam pembelajaran
perlu sekali memperhatikan sumbangan atau kontribusi siswa yang mungkin berupa
ide, gagasan ataupun aneka jawab/cara. Konstribusi siswa itu dapat menyumbang
kepada konstruksi atau produksi yang perlu dilakukan/dihasilkan sehubungan
denagn pemecahan masalah kontekstual.
4) Interaktivitas. Dalam pembelajaran jelas perlu
sekali melaksanakan interaksi, baik antara siswa dan siswa ataupun bila perlu
antara siswa dan guru yang bertindak sebagai fasilitator. Interaksi itu juga
mungkin terjadi antara siswa dengan sarana atau antara siswa dengan matematika
ataupun dengan lingkungan. Bentuk interaksi itu dapat juga macam-macam,
misalnya diskusi, negosiasi, memberi penjelasan atau komunikasi, dsb.
5) Keterkaitan antar topik (intertwinning). Dalam
pembelajaran matematika perlu disadari bahwa matematika adalah suatu ilmu yang
terstruktur dengan ketat konsistensinya. Keterkaitan antara topik, konsep,
operasi dsb sangat kuat, sehingga sangat dimungkinkan adanya integrasi antara
topik dsb. itu. Bahkan mungkin saja antar matematika dengan lain bidang
pengetahuan untuk lebih tajam kebermanfaat belajar matematika. Hal ini
memungkinkan akan dapat menghemat waktu pembelajaran. Selain itu dengan
dimungkinkannya pengaitan antar topik atau sub topik sangat mungkin akan
tersusun struktur kurikulum yang berbeda dengan struktur kurikulum yang selama
ini dikenal, tetapi tetap mengarah kepada kompetensi yang ditetapkan. Karakteristik
yang dikemukakan di atas ada 5 buah. Tidak mustahil ada penulis yang
menambahnya karena ingin memberi penekanan tertentu kepada karakteristik
tertentu. Misalnya menambahkan karakteristik “memperhatikan trajektory belajar”
yang dapat dipandang memberi tekanan kepada proses “pemahaman” mulai dari
masalah kontektual, model hingga mencapai bentuk formal. Sehubungan dengan
karakteristik pertama dan juga kedua yaitu “menggunakan konteks dan kontribusi
anak”, dengan sendirinya PMR disesuaikan dengan budaya setempat atau budaya
Indonesia. Berikut dikemukakan uraian atau pendalaman tentang beberapa bagian
tertentu dari prinsip maupun karakteristik tersebut di atas. Dalam prinsip
pertama dikemukakan guided reinvention yang berarti dalam pembelajaran PMR guru
dapat memberikan guide atau petunjuk supaya siswa dapat menemukan kembali atau
membangun sendiri pengetahuan yang perlu ia pelajari. Tetapi perlu sekali
disadari bahwa sebelum siswa diberi petunjuk, haruslah terlebih dahulu siswa
sendiri mencoba untuk memecahkan atau berusaha menjawab pertanyaan yang muncul
dalam masalah kontekstual yang diberikan guru. Siswa perlu diberi waktu yang
cukup untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dengan caranya sendiri.
Disinilah sangat mungkin siswa membuat model sendiri untuk berusaha menjawab
masalahnya. Kalau diberikan masalah kontekstual yang terkait dengan ”10 apel”
misalnya atau ”10 bola bekel” atau sepuluh benda yang lain, mungkin saja siswa
membuat gambar yang mirip atau serupa dengan apel atau bola bekel itu. Itu
adalah awal pembuatan model oleh siswa yang dapat disebut ”model of” atau model
dari masalah nyata yang dihadapinya. Ini adalah awal pemecahan masalah yang
disebut ”matematisasi horisontal”. (Soejadi, 2007)
Penutup
Dalam Pendidikan
Matematika realsitik Indonesia, focus kegiatan berpusat kepada aktivitas siswa.
PMRI mempunyai dasar filosofi konstruktivitas ( membangun) dimana kegiatan
pembelajaran nya dimulai dari hal-hal yang nyata dialami oleh siswa dalam
kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Marpaung,
Y. (2011). Karakter PMRI (Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia). [Online].Tersedia:Tersedia:http://p4mriusd.blogspot.com/2011/12/pendidikanmatematika-realistik.html
(19 September 2012)
Mustika
Musla, A (2012). PENERAPAN PMRI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI
SEKOLAH DASAR UNTUK MENUMBUHKEMBANGKAN PENDIDIKAN KARAKTER. Makalah Pada Seminar Nasional dan seminar Pendidikan Matematika
FMIPA UNY. Yogyakarta, 10 November 2012
Soejadi,
R (2007). Dasar-dasar Pendidikan
Matematika Realsitik Indonesia. JurnalPendidikan Matematika, 1(2), (1-7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar