Powered By Blogger

2015/11/18

Materi PMRI

TUGAS                                   : MATA KULIAH PENDIDIKAN MATEMATIKA
                                                 REALISTIK INDONESIA
OLEH                                      : ABDUL RONI, S.Pd
NIM                                         :  06022681519002

Abstrak
Matematika selama ini dianggap sebagai tool, padahal sebenarnya matematika itu merupakan aktivitas manusia (Human activity), sehingga matematika harus membekas dalam pengalaman kehidupan nyata manusia ataupun peserta didik. Dasar pemahaman PMRI ini berlandaskan pada Filosofi PMRI, prinsip dan Karakter PMRI Itu sendiri
PENDAHULUAN
Upaya pembaharuan dengan maksud memperbaiki pendidikan matematika sudah sejak lama dilakukan dengan berbagai cara dan tujuan. Ada upaya pembaharuan melalui perubahan kurikulum beserta tujuan yang diperjelas, ada pembaharuan melalui proses pembelajarannya di dalam kelas, meski sifatnya mungkin sporadis. Hal tersebut wajar dilakukan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara. Indonesia pernah mengalami pembaharuan pendidikan matematika yang agak menyeluruh ketika sekolah-sekolah diarahkan untuk menggunakan “Matematika modern” meski tidak disebut secara eksplisit demikian. Demikian juga negara tetangga kita Malaysia dengan “Matematika Moden”-nya. Pada saat gencargencarnya matematika modern itu, Belanda tidak mengikutinya. Dalam kurun waktu tahun 1970-an, Universitas UTRECHT yang memiliki lembaga penelitian, melakukan upaya pembaharuan pendidikan matematika yang dipelopori oleh Hans Freudenthal. Lembaga itu bernama Freudenthal Institute. Sedangkan karya pembaharuannya diberi nama “Realistic Mathematics Education” (RME), yang bertumpu pada realita dalam kehidupan keseharian. Pemikiran dasar RME kemudian menyebar ke berbagai negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara di benua Afrika. Di Indonesia digunakan nama selengkapnya “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia” (PMRI) dalam bentuk pendek adalah “Pendidikan Matematika Realistik”, sedangkan secara operasional juga sering disebut “Pembelajaran Matematika Realistik” (PMR). Dengan demikian dapat kiranya didefinisikan bahwa “ PMRI adalah Pendidikan Matematika sebagai hasil adaptasi dari Realistic Mathematics Education yang TELAH DISELARASKAN dengan kondisi budaya, geografi dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya.


Pendidikan Matematika Realistik (PMR) merupakan inovasi pendidikan matematika disebut juga inovasi pendekatan pembelajaran matematika yang sejalan dengan teori kunstruktivis. Dalam PMR lebih diperhatikan adanya potensi pada diri anak atau siswa yang justru harus dikembangkan. Keyakinan guru akan adanya potensi itu akan mempunyai dampak kepada bagaimana guru harus mengelola pembelajaran matematika. Itupun juga akan berdampak kepada bagaimana siswa membiasakan melakukan kegiatan yang diharapkan muncul sesuai kemampuan diri yang dimilikinya. Keduanya akan berpengaruh kepada budaya guru dalam “mengajar” dan bagaimana budaya anak atau siswa harus “belajar”. Dengan demikian maka inovasi pembelajaran matematika ini tidak sekedar akan memungkinkan pengubahan peta konsep materi matematika dan hubungannya, namun yang tidak kalah pentingnya adalah akan mengubah budaya kearah yang lebih dinamis namun tetap dalam koridor etika pergaulan. Dalam inovasi ini anak atau siswa diharapkan akan berani mengemukakan pendapatnya serta mampu menerima pendapat orang lain dan juga mengetahui perlunya negosiasi dalam kehidupan. Sedangkan guru akan perlu mengurangi kebiasaannya “menggurui” beralih fungsi menjadi fasilitator. Untuk lebih memahaminya berikut akan disajikan serba singkat dasar-filosofis, dasar teoretik serta dasar aplikatif pembelajaran matematika realistik itu.
A.      FILOSOFI PMRI
Menurut Sembiring, matematika adalah konstruksi budaya manusia (Prabowo dan Sidi, 2010:172). Budaya merupakan sesuatu yang dekat dengan manusia, sehingga matematika merupakan hasil konstruksi dari berbagai hal yang ada di sekitar manusia. Hakekat ini yang mendasari munculnya Realistic Mathematics Education (RME) di mana landasan filosofisnya, menurut Freudenthal, adalah matematika harus dihubungkan dengan sesuatu yang nyata dan matematika seharusnya tampak sebagai aktivitas manusia (Aula Aulia Mustika, 2012:3)
Dalam filsafat pendidikan matematika, yaitu pemikiran reflektif tentang pendidikan matematika, perlu menyadari komponen-komponen yang ada dalam pendidikan matematika. Komponen-komponen itu adalah (1) materi matematika, (2) anak yang belajar, (3) sekolah & guru yang “mengajar” dan (4) realitas lingkungan yang ada (Soejadi, 2007:2). Komponen-komponen itu perlu saling terkait atau dikaitkan secara bermanfaat. Khusus tentang materi matematika, orang selama ini, sadar atau tidak memandangnya sebagai “alat”, jadi dikatakan “mathematics as a tool”. Pandangan atau anggapan semacam itu sama sekali tidaklah salah dan sama sekali juga tidak harus dibuang. Hal yang perlu disadari adalah penempatannya. Kalau dalam pembelajaran seorang guru cenderung menganggap matematika sebagai alat, tidaklah mustahil anak akan lebih mengutamakan “pokok bisa pakai” atau “pokok bisa selesaikan soal” cukup menghafal. PMR tidak memandang matematika sedemikian itu, tetapi memandang matematika sebagai kegiatan manusia atau “mathematics as human activity”. Ini lebih sesuai dengan tumbuhnya atau munculnya matematika di berbagai bagian dunia. Sejarah matematika akan memperjelas hal itu. Karena adanya tantangan hiduplah manusia berupaya untuk mengatasinya. Pandangan itulah yang kemudian dinilai lebih tepat untuk melaksanakan pendidikan matematika, lebih-lebih diawal pendidikan matematika, yang objeknya abstrak itu. Sesuai dengan pandangan itu atau filsafat itu, maka dalam PMR diupayakan semaksimal mungkin anak aktif dan membangun sendiri pengetahuannya. Dengan demikian dasar filosofis PMRI adalah bahwa Matematika adalah kegiatan manusia dan sekaligus sebagai alat. Ini berarti bahwa perlu menempatkan kedua pandangan itu pada tempat yang cocok/sesuai dengan perkembangan jiwa peserta didik.. Skema di bawah ini kiranya akan memperjelas inti uraian di atas.


Skema tersebut menunjukkan kedua filsafat, yaitu matematika sebagai kegiatan manusia di bagian bawah sedangkan matematika sebagai alat di bagian atas, setelah tercapai matematika formal. Dalam skema itu tertera ANEKA MASALAH, ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan memang dihadapi macam-macam masalah. Aneka masalah yang tertera di bagian bawah skema itu dimaksud untuk menunjukkan masalah yang ada di sekitar anak atau masalah keseharian yang dapat digunakan untuk mengungkap masalah kontekstual, khususnya untuk masalah kontekstual yang akan diberikan kepada siswa di awal pembelajaran sesuatu topik atau sub topik. Jadi anak diharapkan akan dapat menemukan atau membangun suatu ide ataupun konsep matematika tertentu. Di bagian itu tertulis nyata – semi – abstrak. Ini menunjukkan kemungkinan langkah matematisasi horisontal. Mungkin sekali melalui lebih dari satu kali langkah informal, mungkin berupa model of, mungkin juga berupa kata-kata keseharian yang akan membantu kearah istilah-istilah formal matematika. Di bagian kanan terdapat garis vertikal yang menunjukkan matematisasi vertikal atau arah pencapaian matematika formal setelah melalui matematisasi horisontal. ANEKA MASALAH di bagian kiri menunjukkan macam-macam masalah yang mungkin sekali memerlukan pemecahan dengan bantuan matematika formal melalui kemungkinan generalisasi ataupun idealisasi sehingga dapat dibuat model matematikanya secara formal. Selanjutnya digunakanlah matematika sebagai alat, dengan memcahkan model matematika dengan berbagai aturan yang ada dalam matematika formal, sehingga tercapai jawab atau selesaian dari model matematika itu. Tentu saja selanjutnya harus diakhiri dengan penafsiran selesaian model itu menjadi jawab atau selesaian dari masalah yang harus diselesaikan dengan bantuan matematika tersebut. Skema menyeluruh ini di sini disebut Skema kerangka dedaktik dalam rangka inovasi dengan PMR tersebut. Sudah barang tentu untuk setiap anak, mungkin saja dapat terjadi perbedaanperbedaan tertentu dalam rangka menuju tujuan tertentu yang diharapkan Itulah nanti yang akan disebut sebagai “learning trajectory”.

B.       PRINSIP PMRI
1) a) Guided Re-invention atau “menemukan kembali secara terbimbing” Prinsip ini menekankan “penemuan kembali” secara terbimbing.. Melalui topik-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan sama untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika. Setiap siswa diberi kesempatan sama untuk merasakan situasi danmengalami masalah kontekstual yang mmiliki berbagai kemungkinan solusi. Bila diperlukan dapat diberikan bimbingan yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak diawali dari “sifat” atau “definisi” atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan “contoh=contoh” serta “penerapannya”, tetapi justru dimulai dengan masalah kontekstual atau real/nyata meski hanya dengan memba yangkannya, dan selanjutnya melalui aktivitas siswa diharapkan dapat menemukan kembali sifat,definisi dan lainnya itu. Hal terakhir menunjukkan kesesuiannya dengan paham konstruktivisme yang meyakini bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang kepada orang lain tanpa aktivitas yang dilakukan sendiri oleh orang yang akan mengetahui pengetahuan tersebut.
b) Progressive mathematization atau matematisasi progresif. Bagian -2 dari prinsip pertama ini menekankan “matematisasi” atau “pematematikaan” yang dapat diartikan sebagai “upaya untuk mengarahkan kepada pemikiran matematika”. Dikatakan prograsif karena terdapat dua langkah matematisasi itu, yaitu matematisasi (1) horisontal dan (2) vertikal.yang berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan akan berakhir pada matematika yang formal.
2) Didactical Phenomenology atau fenomenologi didaktik.
 Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Masalah kon tektual dipilih dengan mempertimbangkan (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) kecocokan dengan proses re-invention yang berarti bahwa aturan/cara,atau konsep atau sifat termasuk model matematika tidak disediakan atau diajarkan oleh guru tetapisiswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau membangun sendiri dengan berpangkal dari masalah kontektual yang diberikan. Ini akan menimbulkan “learning trajectory” / lintasan belajar yang akan menuju tujuan yang ditetapkan.Tidak mustahil lintasan belajar itu untuk setiap siswa bisa berbeda meskipun akan mencapai tujuan yang sama. Ini berarti bahwa pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi akan berpusat pada siswa bahkan dapat juga disebut berpusat pada masalah kontekstual yang dihadapi. Masalah kontekstual dapat juga untuk memantapkan pemahaman sesuatu yang telah didapatnya..
3) Self developed model atau membangun sendiri model.
Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model. Karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju ke matematika formal serta adanya kebebasan pada anakmaka tidaklah mustahil siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih seder-hana dan masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan sifatnya masih dapat disebut “matematika informal”. Selanjutnya mungkin melalui generalisasi ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang mengarahkan ke matematika formal, model ini dapat disebut “model for”. Hal tersebut sesuai dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, yang memungkinkan siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri. (Soejadi, 2007)

C.      CIRI ATAU KARAKTERISTIK PMRI
1) Menggunakan konteks. Pembelajaran menggunakan masalah kontekstual. Kontekstual yang dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata baik aspek budaya maupun aspek geografis.. Didalam matematika hal itu tidak selalu diartikan “konkret” tetapi dapat juga yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan. Masalah kontekstual biasanya dikemukakan di awal pembelajaran. Namun demikian masalah dapat saja disajikan di tengah atau di akhir pembelajaran suatu topik atau sub topik. Masalah kontekstual disajikan di awal pembelajaran, bila dimaksudkan untuk memungkinkan siswa membangun/menemukan sesuatu konsep, definisi, operasi ataupun sufat matematika serta cara pemecahan masalah itu. Masalah kontektual di sajikan di tengah pembelajaran bila dimaksudkan untuk “memantapkan” apa yang telah dibangun/ditemukan. Masalah kontekstual disajikan di akhir pembelajaran bila dimaksudkan untuk mampu “mengaplikasikan” apa yang telah dibangun/ditemukan.
 2) Menggunakan model Dalam pembelajaran matematika sering perlu melalui waktu yang panjang serta bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam abstraksi itu perlu menggunakan model. Model itu dapat bermacam-macam, dapat konkret berupa benda, gambar, skema, yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai jembatan dari konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Dikenal model yang serupa atau mirip dengan masalah nyatanya, yang disebut “model of” dan dikenal juga model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak atau formal, yang disebut “model for”.
3) Menggunakan kontribusi siswa. Dalam pembelajaran perlu sekali memperhatikan sumbangan atau kontribusi siswa yang mungkin berupa ide, gagasan ataupun aneka jawab/cara. Konstribusi siswa itu dapat menyumbang kepada konstruksi atau produksi yang perlu dilakukan/dihasilkan sehubungan denagn pemecahan masalah kontekstual.
4) Interaktivitas. Dalam pembelajaran jelas perlu sekali melaksanakan interaksi, baik antara siswa dan siswa ataupun bila perlu antara siswa dan guru yang bertindak sebagai fasilitator. Interaksi itu juga mungkin terjadi antara siswa dengan sarana atau antara siswa dengan matematika ataupun dengan lingkungan. Bentuk interaksi itu dapat juga macam-macam, misalnya diskusi, negosiasi, memberi penjelasan atau komunikasi, dsb.
5) Keterkaitan antar topik (intertwinning). Dalam pembelajaran matematika perlu disadari bahwa matematika adalah suatu ilmu yang terstruktur dengan ketat konsistensinya. Keterkaitan antara topik, konsep, operasi dsb sangat kuat, sehingga sangat dimungkinkan adanya integrasi antara topik dsb. itu. Bahkan mungkin saja antar matematika dengan lain bidang pengetahuan untuk lebih tajam kebermanfaat belajar matematika. Hal ini memungkinkan akan dapat menghemat waktu pembelajaran. Selain itu dengan dimungkinkannya pengaitan antar topik atau sub topik sangat mungkin akan tersusun struktur kurikulum yang berbeda dengan struktur kurikulum yang selama ini dikenal, tetapi tetap mengarah kepada kompetensi yang ditetapkan. Karakteristik yang dikemukakan di atas ada 5 buah. Tidak mustahil ada penulis yang menambahnya karena ingin memberi penekanan tertentu kepada karakteristik tertentu. Misalnya menambahkan karakteristik “memperhatikan trajektory belajar” yang dapat dipandang memberi tekanan kepada proses “pemahaman” mulai dari masalah kontektual, model hingga mencapai bentuk formal. Sehubungan dengan karakteristik pertama dan juga kedua yaitu “menggunakan konteks dan kontribusi anak”, dengan sendirinya PMR disesuaikan dengan budaya setempat atau budaya Indonesia. Berikut dikemukakan uraian atau pendalaman tentang beberapa bagian tertentu dari prinsip maupun karakteristik tersebut di atas. Dalam prinsip pertama dikemukakan guided reinvention yang berarti dalam pembelajaran PMR guru dapat memberikan guide atau petunjuk supaya siswa dapat menemukan kembali atau membangun sendiri pengetahuan yang perlu ia pelajari. Tetapi perlu sekali disadari bahwa sebelum siswa diberi petunjuk, haruslah terlebih dahulu siswa sendiri mencoba untuk memecahkan atau berusaha menjawab pertanyaan yang muncul dalam masalah kontekstual yang diberikan guru. Siswa perlu diberi waktu yang cukup untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dengan caranya sendiri. Disinilah sangat mungkin siswa membuat model sendiri untuk berusaha menjawab masalahnya. Kalau diberikan masalah kontekstual yang terkait dengan ”10 apel” misalnya atau ”10 bola bekel” atau sepuluh benda yang lain, mungkin saja siswa membuat gambar yang mirip atau serupa dengan apel atau bola bekel itu. Itu adalah awal pembuatan model oleh siswa yang dapat disebut ”model of” atau model dari masalah nyata yang dihadapinya. Ini adalah awal pemecahan masalah yang disebut ”matematisasi horisontal”. (Soejadi, 2007)

Penutup
Dalam Pendidikan Matematika realsitik Indonesia, focus kegiatan berpusat kepada aktivitas siswa. PMRI mempunyai dasar filosofi konstruktivitas                  ( membangun) dimana kegiatan pembelajaran nya dimulai dari hal-hal yang nyata dialami oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA                          

Marpaung, Y. (2011). Karakter PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). [Online].Tersedia:Tersedia:http://p4mriusd.blogspot.com/2011/12/pendidikanmatematika-realistik.html (19 September 2012)

Mustika Musla, A (2012). PENERAPAN PMRI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR UNTUK MENUMBUHKEMBANGKAN PENDIDIKAN KARAKTER. Makalah Pada Seminar  Nasional dan seminar Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Yogyakarta, 10 November 2012

Soejadi, R (2007). Dasar-dasar Pendidikan Matematika Realsitik Indonesia. JurnalPendidikan Matematika, 1(2), (1-7).




Tidak ada komentar: